Kematian sering kali menakutkan bagi kebanyakan orang, sedangkan bagi orang-orang spesial, kematian justru menjadi jalan menuju kebahagiaan. Dalam Islam, kebahagiaan tertinggi adalah bertemu dengan Allah di surga-Nya yang abadi, dan surga itu hanya dapat dimasuki lewat kematian.
Banyak sekali yang tidak pasti di dunia ini, namun kematian merupakan kepastian yang tidak mungkin dimungkiri siapa pun. Alih-alih takut mati, orang-orang bahagia sibuk mempersiapkan kematian terindah bagi dirinya. Kematian terindah itulah yang amat membahagiakan karena kita menghadap Allah dengan jiwa yang tenang.
Kematian terindah bukanlah wafat di saat kekayaan berlimpah ruah, bukan pula mati dengan tubuh tertimbun tumpukan emas permata, tidak juga meninggal dengan dikebumikan di taman makam pahlawan. Kematian itu terasa membahagiakan setelah kita melalui perjuangan menegakkan kebenaran dan menebar kebajikan, seperti dua kisah berikut.
Peristiwa Khalid bin Walid memeluk agama Islam disambut bahagia oleh Rasulullah. Kegembiraan itu ternyata menjadi pertanda bahwa kehadiran Khalid sangat berpengaruh bagi masa depan peradaban Islam.
Kecakapannya di medan perang membuat Khalid digelari Saifullah Al Maslul (pedang Allah yang terhunus). Sepanjang karier kemiliterannya, Khalid tidak sekali pun merasakan kekalahan. Padahal yang dihadapinya adalah pasukan kerajaan adidaya saat itu, yakni Romawi dan Persia. Sering kali di medan tempur pasukan musuhnya jauh lebih banyak dan lebih lengkap persenjataannya. Tapi dengan kecerdikannya, Khalid dapat mengalahkan pasukan musuh. Dalam tempo singkat, berkat perjuangan Khalid, Negara Islam yang semula hanya di semenanjung Hijaz terus meluas ke penjuru dunia.
Perjuangan Khalid bin Walib tidak dilatarbelakangi ketamakan akan harta atau kedudukan. Bahkan setelah memenangkan peperangan besar, Khalifah Umar bin Khattab memecatnya dari jabatan panglima dan mengembalikan Khalid ke posisi prajurit biasa. Khalid menerima keputusan tersebut dengan lapang dada, sebab tujuannya berperang hanyalah membela Agama Allah dan melindungi atau membebaskan rakyat jelata dari kekejaman penjajahan Romawi dan Persia.
Khalid meninggal di Emesa, dan makamnya menjadi bagian dari Masjid Khalid bin Al Walid. Di atas nisan kuburnya tercantum daftar lebih dari 50 perang besar yang terus dimenanginya tanpa pernah terkalahkan. Dengan jasa demikian besar bagi peradaban Islam dan kemanusiaan serta semua pertempurannya dalam membebaskan orang-orang yang tertindas, panglima hebat itu masih sempat menyesal di pengujung ajalnya di atas ranjang sederhana. Dia berkata lirih, “Aku berjuang dalam banyak pertempuran mencari mati syahid, tidak ada tempat di tubuhku melainkan memiliki bekas luka tusuk tombak, pedang, atau belati, namun inilah aku, mati di tempat tidur seperti unta tua mati.”
Begitulah makna kematian di mata orang yang beriman. Ajal menjadi jalan kebahagiaan. Walaupun sudah mati di jalan yang benar, dia malah ingin menyempurnakan kematiannya dengan syahid di medan laga. Dia merasa bahagia melepas ajalnya di jalan yang paling mulia dalam Agama.
Sayyid Qutb lahir di Asyut, Mesir, 9 Oktober 1906. Dia terkenal sebagai sastrawan dan cendekiawan yang menghasilkan puluhan buku sastra dan keislaman. Semula dia berkarier sebagai pengawas di Departemen Pendidikan Mesir. Atas prestasi kerjanya, pemerintah Mesir mengirimnya belajar ke tiga perguruan tinggi di Amerika;
Wilson’s Teacher’s College-Washington, Greeley College- Colorado, dan Stanford University-California. Lalu Sayyid Qutb melanjutkan perjalanan menimba pengetahuan ke Italia, Inggris, dan Swiss serta negara-negara Eropa lainnya.
Sepulangnya ke Mesir, Sayyid Qutb menjadi pemimpin redaksi sebuah harian. Pada tahun 1954, dia mengkritik keras penyelewengan yang dilakukan Presiden Mesir, Gamal Abdel Naseer. Pada Mei 1955, Sayyid Qutb dipenjara, tiga bulan berikutnya hukumannya semakin berat dengan dijebloskan ke kamp kerja paksa selama 15 tahun.
Sembilan tahun dalam penderitaan berat, atas permintaan Presiden Irak Abdul Salam Arief, Sayyid Qutb dibebaskan tahun 1964. Sayyid Qutb teguh dengan pendiriannya, menyuarakan keadilan bagi orang tertindas dan mengkritisi penguasa zalim. Habislah kesabaran presiden Mesir yang kembali menjebloskannya ke penjara dengan tuduhan makar. Hukumannya tak tanggung-tanggung, langsung dikenakan vonis mati.
Selama di penjara, Sayyid Qutb menulis kitab tafsir fenomenal Fi Zhilal Al-Qur’an. Sebuah kitab tafsir yang sangat indah karena ditulis oleh sastrawan dan amat dalam maknanya sebab ditulis oleh seseorang yang sedang menanti hukuman mati. Selama menulis tafsir itu, Sayyid Qutb menyucikan jiwanya. Dia tidak punya lagi kepentingan duniawi dalam proyek penulisan tafsirnya, maka tidaklah mengherankan karyanya ini menjadi sangat bermutu.
Dunia internasional berusaha keras mencegah hukuman mati Sayyid Qutb, tetapi pemerintah Mesir keras kepala dan tetap menggantung Sayyid Qutub pada 29 Agustus 1969. Nyawanya melayang tetapi kitab tafsirnya tetap abadi sepanjang masa. Menulis sebuah buku, apalagi menafsirkan Al-Qur’an merupakan bukti kekuatan jiwa yang mengagumkan. Dia menunjukkan kebahagiaan menyongsong ajalnya yang terindah, yaitu mati membela kebenaran, setelah menulis keagungan Al-Qur’an.
Orang-orang akan terpesona begitu membaca pembukaan kitab tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an, di mana tercantum kebahagiaan tertinggi yang terungkap dari hamba Allah yang sedang menanti hukuman mati.
Sayyid Qutb menulis, “AI-Hayaa-u fii zhilal al-Qur’an ni’matun, laa yazuuquhaa illa man zaaqohaa...” Maksudnya, “ Hidup di bawah naungan Al-Qur’an adalah suatu nikmat terindah yang tidak akan diketahui kecuali oleh orang yang pernah merasakannya"/
Kalau orang sudah merasakan indahnya hidup dalam naungan Al-Qur’an, maka dia akan bahagia menanti kedatangan ajalnya. Ingin tahu indahnya hidup dan mati ? Satu-satunya cara adalah dengan mulai menjalani hidup sesuai kebenaran Al-Qur’an. Bukan saja hidup, mati pun akan terasa membahagiakan.
Kematian terindah adalah saat kita sedang berjihad di jalan Allah dengan penuh keyakinan dan Jihad terbesar dalam hidup ini adalah menjalani kehidupan dibawah naungan Al-Qur’an, Kematian paling malang adalah saat ajal datang, kita sedang jauh dari Al-Qur’an bahkan meninggalkan kebenaran dan petunjuk Al-Qur’an. Bagi orang yang bahagia tak ada bedanya hidup dengan mati, di penjara atau di luarnya. Dia tetap bahagia dalam kondisi apa pun. Menyelami keindahan Al-Quran akan membuat jiwa kuat dan bahagia.