Peristiwa mengerikan ini menimpa Bani Israil. Saat itu masih pagi, tiba-tiba suasana lengang menjadi ribut. Tragedi menyedihkan terjadi di perbatasan kampung seberang. Di sana terbujur sesosok mayat laki-laki tua, lehernya hampir putus digorok senjata tajam. Orang-orang pun terpekik ngeri.
“Ya Allah, mayat siapakah yang malang ini!”
“Kasihan ya...”
“Ya ampun, dia orang kampung sebelah. Cepat kabari sanak keluarganya!”
Tak berapa lama, bukan sanak keluarga korban saja yang berdatangan, orang-orang sekampungnya juga hadir. Keluarganya menangis dan menjerit-jerit, tak menyangka orang yang disayangi mengalami kematian tragis. Seorang gadis jelita jatuh pingsan sebab tak kuat menyaksikan ayahanda tercinta mati dianiaya. Kenapa ada yang begitu kejam? Bukankah dia pria yang baik?
Pria yang mati dibunuh itu rupanya orang yang disegani. Warga lain amat sedih dan merasa kehilangan. Kedukaan menyelimuti mereka, hingga seorang pemuda berteriak keras, “Kurang ajar! Aku pasti menuntut balas pembunuhan ini.” Wajahnya memerah dan matanya melotot. Pemuda itu menghunus pedang dan menghardik, “Ayo mengaku, siapa yang berbuat kekejian ini!”
Tak satu pun yang menjawab, semuanya kebingungan. Masyarakat luas mengetahui kebaikan lelaki tua yang semasa hidupnya banyak menolong orang lain itu. Rasanya mustahil jika dia mempunyai musuh. Wajar jika penduduk keheranan, siapakah yang tega menghabisi nyawa orang baik ini?
Pemuda itu menebar tuduhan, “Pembunuhnya pasti orang kampung ini. Ayo mengaku! Biar kutebas batang lehernya.”
Penduduk kampung yang dituduh terbelalak kaget dan menolak, “Hai, janganlah menuduh sembarangan! Mana mungkin kami membunuh orang baik. Dia itu sudah seperti saudara kami sendiri.”
Sang pemuda bersikeras, “Ah, tak usah menyangkal. Lihatlah, mayat pamanku terbujur di kampung kalian. Siapa lagi pembunuhnya selain orang kampung sini!”
Hasutan pemuda itu membuat keluarga si mayat terpengaruh hingga ikut-ikutan menuduh. Sebaliknya penduduk kampung seberang juga marah karena dituduh membunuh. Kedua belah pihak saling mengancam hingga situasi menegang. Mereka memegang hulu pedang masing-masing dan siap berperang.
Rupanya si pemuda yang menyulut keonaran diam-diam tersenyum licik. Di pelupuk matanya sudah terbayang dia akan bersanding di pelaminan. Dia memang sudah lama ingin menikahi putri pamannya. Dia juga menginginkan limpahan harta warisan. Oh, alangkah nikmatnya!
Pada saat perkelahian akan terjadi, untungnya Nabi Musa datang melerai. Seluruh warga diajak bermusyawarah, mereka pun menceritakan pokok permasalahannya. Seketika itu Nabi Musa mendapat petunjuk dari Allah.
Mereka berseru, “Hai Musa, ayo tunjukkan siapa pembunuh sebenarnya?”
“Baiklah, kalian ingin keadilan ditegakkan?” tanya Musa.
“Benar!” jawab mereka serempak.
“Kalau begitu sembelihlah seekor sapi betina. Lalu pukulkan lidah sapi itu ke tubuh saudara kita yang sudah meninggal itu. Atas izin Allah, lelaki tua itu akan bangun dan menunjuk siapa pembunuhnya,” ujar Nabi Musa.
Perintah itu merupakan wahyu dari Allah, tapi mereka malah menertawakan Nabi Musa. “Yang benar saja,” kata mereka sinis. “Apa kau hendak membuat kami jadi bahan cemoohan? Caramu itu tidak masuk akal?”
Nabi Musa mengingatkan, “Demikianlah petunjuk Allah dan orang yang beriman tak akan meraguinya.”
Mereka pun berusaha mengelak dari perintah Tuhan dengan mengajukan banyak pertanyaan, “Kalau memang demikian, tolong diperjelas. Tanyakan lagi pada Tuhan, sapi betina yang bagaimana?”
“Umur sapi betina yang sedang-sedang saja. Tidak terlalu tua dan tidak pula terlalu muda,” jawab Nabi Musa.
Mereka sebenarnya sedang malas mencari sapi. Demi menutupi rasa malas, mereka terus bertanya, “Apa warna sapi itu?”
“Sapi betina itu berwarna kuning keemasan. Ia indah dipandang mata,” jelas Nabi Musa.
Mendengar jawaban itu, mereka makin malas mencarinya sehingga ditambah-tambahlah pertanyaannya. “Kami masih ragu dengan jenis sapi itu. Tolong lebih diperinci lagi cirri-cirinya.”
Nabi Musa pun menguraikan, “Sapi betina itu tidak pernah dipekerjakan untuk membajak tanah. Sapi itu tak dipakai pula untuk mengairi ladang. Sapi itu tidak boleh ada cacatnya. Ia pun tidak memiliki belang.”
Karena terlalu banyak bertanya, akibatnya mereka terjebak sendiri. Tentu semakin sulit menemukan sapi dengan syarat-syarat tersebut. Ke mana hendak dicari? Tapi itu adalah perintah Allah. Berbagai pelosok negeri pun dijelajahi. Namun, sapi yang dicari tak kunjung ditemukan. Mereka sampai mengira bahwa sapi seperti itu tak ada.
Berkat kuasa Allah, mereka menemukan sapi seperti yang disebutkan Nabi Musa. Sapi itu milik seorang anak yatim. Sayang, pemuda saleh itu tidak mau menjual sapi yang merupakan warisan ayahnya.
“Ayo, juallah sapimu! Ia berguna untuk menegakkan keadilan. Dengan sapimu kami akan mengetahui siapa pembunuh kejam itu,” bujuk seorang Bani Israil.
Seorang lagi berkata, “Benar, ini merupakan perintah Allah. Kami akan membeli, berapa pun harganya.”
Akhirnya pemuda yatim itu merelakan sapi kesayangannya, semata-mata untuk mematuhi perintah Allah. Demi tegaknya keadilan, sapi itu ditukar dengan emas dan perak seberat tubuh sapi.
Saat sapi itu hendak disembelih, masyarakat berdebar-debar menunggu apa yang akan terjadi. Si pemuda yang pertama sekali melancarkan tuduhan malah berolok- olok, “Bagaimana mungkin sapi bisa memberitahu siapa pembunuhnya?
“Bukan sapi, tapi jenazah lelaki tua ini yang akan langsung memberitahu,” jawab Nabi Musa.
Tanpa berlama-lama, atas nama Allah sapi itu pun disembelih. Nabi Musa memotong lidah sapi, kemudian memukulkannya ke tubuh jenazah sambil berkata, “Hai jenazah, tunjukkan siapa pembunuhmu!”
Allah memang Maha Besar. Atas izin-Nya, mayat itu hangkit menunjuk seseorang, “Dialah pembunuhku! Dia membunuhku demi mengambil harta dan anak gadisku.” Selesai berkata, mayat itu kembali tumbang, diam selamanya.
Pemuda yang ditunjuk langsung jatuh pingsan karena kaget luar biasa. Penduduk lainnya juga ikut terkejut. Ya, pemuda yang pertama menuduh orang lain ternyata adalah pelakunya.