Sejak Amin bangkrut dari usahanya, sejak itu pula hubungannya dengan sang istri berjalan tidak harmonis.
“Untuk apa aku menghormati suamiku yang tidak pernah memberi nafkah,” kata istrinya ketus.
Amin hanya bisa mengelus dada. Amin bukannya tidak berusaha untuk kembali mengulang keberuntungannya, tetapi Allah belum membuka pintu rezeki untuk mereka.
“Pasti Allah punya alasan sehingga kita mengalami hal ini,” kata Amin yang disambut dengan cibiran istrinya.
Amin sangat menderita atas perlakuan istrinya, tetapi dia tidak berdaya. Setiap hari istrinya tidak melayaninya. Bahkan, anak-anaknya mulai ikut tidak menghargainya.
Amin yang sudah tua semakin sedih. Untunglah, keadaan itu tidak membuatnya pantang menyerah untuk terus mencari rezeki, meskipun hasil yang didapat tidak terlalu banyak.
“Uang ini tidak cukup, walau hanya untuk membeli sepotong roti,” protes istrinya.
Suatu hari, pertengkaran tidak terkendalikan pecah di rumah itu. Istri dan anak-anaknya mengusir Amin dari rumah mereka. Amin keluar rumah tanpa membawa apa pun. Ia hanya membawa baju yang dipakainya. Amin tidur di masjid dan terus beribadah. Dia berusaha memaafkan apa yang dilakukan istri dan anak-anaknya, tetapi betapa sulit menerima sakit hati itu.
“Ya Allah, jangan kauberi pahala kepada setiap kebaikan yang diperbuat istri dan anak-anakku, biarkan mereka merasakan apa yang neraka berikan bagi orang-orang yang durhaka,” doa Amin dengan kemarahan yang membubung.
Suatu hari seorang tetangga mengabarkan pada Amin bahwa istrinya sakit keras.
“Biarlah dia sakit. Itu merupakan azab dari Allah. Itu baru di dunia, belum lagi di akhirat,” kata Amin sinis.
Tetangganya tersentak, “Maafkan istrimu, wahai Amin. Ridhamu sangat diharapkannya.”
“Tidak mungkin aku memaafkan setelah apa yang dilakukannya padaku,” tegas Amin.
“Kasihan istrimu. Dia berada di ambang hidup dan mati,” sahut tetangganya lagi.
“Tahukah kau? Sejak usahaku mengalami kebangkrutan, istriku tidak lagi menghormatiku sebagai seorang suami. Padahal pada saat itu, aku sangat membutuhkan dukungannya untuk kembali bangkit. Puncaknya, aku diusir dari rumahku sendiri,” ujar Amin geram.
“Tapi, jika kau tidak memaafkan dan meridhainya, surga akan menjadi haram bagi istrimu,” kata tetangganya.
“Biar saja neraka yang akan menerimanya dengan suka cita,” Amin tetap tak peduli.
Ternyata Amin memang tidak bisa dibujuk lagi. Tetangganya tak hilang akal.
“Baiklah jika begitu, daripada kau menunggu azab istrimu di neraka, lebih baik kau datang ke rumahmu dan bakarlah dia.”
“Apa maksudmu?”
“Bakarlah istrimu dan lihatlah penderitaannya sehingga kau merasa puas. Biarkan dia segera mati daripada menderita dengan sakitnya di dunia ini.”
“Ya Allah,” tiba-tiba Amin menangis. “Sungguh kasihan istriku,” lanjutnya sambil membayangkan penderitaan istrinya ketika dibakar hidup-hidup.
“Wahai sahabatku, jika kau tidak melakukan itu, istrimu pun sulit meninggal. Sebab ridha suaminya belum dia terima,” kata tetangga Amin,” maafkanlah dia.”
Amin segera menuju rumah dan memeluk istrinya.
“Sungguh istriku, aku ridha padamu. Aku maafkan semua kesalahanmu. Demi Allah....,” kata Amin sambil menangis.
Akhirnya, istri Amin meninggal setelah mengucap, “Laa ilaaha ilallah”.
“Allah Swt. Kelak tidak akan memandang (memperhatikan) seorang wanita yang tidak bersyukur kepada suaminya meskipun selamanya dia membutuhkan suaminya.” (HR. AL-HAKIM)