Aziz ingin bertemu dengan ayahnya yang merupakan pejabat penting di kotanya. Kesibukan ayahnya yang luar biasa membuat Aziz tidak selalu mendapatkan kesempatan bertemu, apalagi sejak dia menikah. Aziz dan ayahnya berbeda kota tinggal.
Waktu yang terbatas, tidak membuat aziz merasa terabaikan. Aziz justru merasa bangga mendengar tentang kepemimpinan ayahnya yang amanah. Rakyat yang dipimpin ayahnya hidup damai dan sejahtera. Rakyat selalu mendapat porsi nomor satu di mata sang ayah untuk sekadar mendengarkan keluhan mereka. Ayahnya berbeda jauh dengan pejabat lain yang kadang menggunakan kekuasaan untuk mengeruk kekayaan dan bertindak atas kepentingan pribadi.
“Sebagai pemimpin, Ayah ingin menjadi teladan bagi semua rakyat. Kehancuran rakyat diawali dari keburukan moral pemimpinnya.” Begitu kata sang ayah ketika dirinya diangkat menjadi salah satu pejabat pemerintahan tempo lalu.
Malam itu, aziz datang ke tempat kediaman ayahnya yang sederhana. Ayahnya sedang berada di ruang kerja.
“Assalamu’alaikum, Ayah,” sapa Aziz.
“Wa’alaikumsalam, Anakku. Masuklah, Nak,” jawab ayahnya dengan lembut.
Ruang kerja ayahnya pun terlalu sederhana untuk seorang pejabat penting.
“Baiklah, Ayah. Aku ingin berdiskusi dengan Ayah,” kata Aziz.
“Mengenai apa?”
“Banyak hal mengenai keluarga kita.”
Ayahnya beranjak dari duduk dan memadamkan penerangan ruangan.
“Baiklah, mari kita berdiskusi,” kata sang ayah.
Aziz heran kenapa ayahnya harus memadamkan lampu dulu sebelum berdiskusi.
“Maaf Ayah, kenapa Ayah memadamkan lampunya?” tanya Aziz penasaran.
“Ayah memadamkan lampunya karena ruangan ini adalah tempat Ayah berkerja, sedangkan yang kita bicarakan adalah masalah keluarga. Jadi, Ayah tidak memiliki hak menggunakan penerangan yang di bayar oleh negara untuk kepentingan pribadi Ayah,” kata ayahnya dengan tegas.
Aziz terharu dengan apa yang disampaikan ayahnya. Dia semakin bangga sebagai anaknya.
“Seorang pemimpin yang dipilih oleh rakyat, selayaknya mendahulukan kepentingan rakyat dan bersikap untuk tidak merugikan rakyat.”