Nursal Bagindo Bungsu namanya, lahir di Bukittinggi 17 Juli 1939. Bersama istrinya Usmah binti Hasan, lahir di Lubuk Basung 4 Mei 1943, Nursal merantau ke bumi Lancang Kuning, Provinsi Riau. Mulai tahun 1969, pria ini merintis usaha berdagang pakaian di Pasar Pusat, Pekanbaru. Dia membesarkan enam putra dan putri yang saat itu masih bersekolah dan kuliah. Suatu perjuangan yang cukup menantang bagi pedagang biasa di pasar tradisional seperti dirinya.
Sekitar tahun 1980, Nursal dan istri berniat tulus hendak menunaikan ibadah haji. “Setelah saya hitung-hitung hasil berdagang pakaian, beberapa tahun ke depan saya dan istri mungkin bisa berangkat haji,” ungkapnya optimis. Karena itu, Nursal semakin semangat berdagang, tak lupa berdoa setiap hari agar dikabulkan Allah Swt.
Niatnya tersandung batu ujian. Pada Agustus 1987 kebakaran besar melanda Pasar Pusat, Pekanbaru. Toko milik Nursal pun ludes dilalap si jago merah. Tak selembar pakaian pun yang tersisa, Nursal hanya bisa mencium ban abu dari dagangannya yang hangus.
Alih-alih menabung dana haji, Nursal malah terbelit banyak utang. Selain membeli baju dengan modal sendiri, Nursal juga menerima pasokan pakaian dengan sistem titip jual. Pakaian yang telah dititipkan biasanya dibayar setelah terjual Sekarang barang-barang itu habis terbakar dan dia tak punya cukup uang untuk membayar ganti rugi.
Nursal bertekad membayar utangnya itu. Maka dia meminjam modal kepada bos konveksi supaya bisa kembali berdagang. Nursal mengambil pelajaran berharga dari musibah kebakaran. Dia pun memindahkan tokonya ke Pasar Kodim, masih di Pekanbaru.
Untuk mewujudkan tekadnya beribadah haji, Nursal juga membuka sebuah toko lagi di Pasar Cik Puan, Pekanbaru. Nursal berharap dengan dua toko tersebut, selain untuk membayar utang, dia juga bisa menafkahi keluarga, menyekolahkan anak-anak, dan menabung dana guna melaksanakan ibadah haji.
Rupanya Allah punya skenario yang berbeda. Baru tiga bulan membuka toko kedua, kebakaran hebat melanda Pasar Cik Puan pada November 1987. Toko milik Nursal ludes dilalap api. Akibatnya, bukan saja gagal membayar utang, jumlah utang Nursal malah menggunung karena pakaian milik para pemasok yang terbakar harus digantinya.
Utang puluhan juta rupiah membelit Nursal. Masa depan keluarganya terancam, bahkan untuk hidup sehari-hari pun mereka kesusahan. Dalam kondisi amat terpukul, Nursal meyakinkan para pemasok barang bahwa utangnya pasti dibayar. Dia meminta penangguhan pembayaran sampai usahanya kembali normal.
Nursal pun memfokuskan usaha dagang di tokonya yang berlokasi di Pasar Kodim. Agar musibah yang telah menimpanya tak terulang, Nursal membuat berbagai antisipasi untuk mewaspadai kemungkinan kebakaran. Di lain pihak, semangat pria itu untuk naik haji tak kunjung pudar. Segenap doa tulus dipanjatkannya agar niat suci itu kelak terlaksana. Bertahun-tahun lamanya, Nursal membangun ekonomi keluarganya kembali dan berangsur-angsur membayar utang.
Belasan tahun berlalu, niat Nursal untuk naik haji kembali menguat. “Menurut perhitungan saya, insya Allah beberapa tahun lagi harapan saya dan istri berangkat ke Mekkah dapat terlaksana,” ujarnya.
Pagi hari tahun 2000, harapan Nursal yang baru bersinar tiba-tiba padam. Saat itu menjelang Idul Fitri, Nursal sengaja menyiapkan barang dagangan dalam jumlah besar. Ketika dia hendak membuka tokonya, sekawanan maling tahu-tahu menggondol barang dagangannya.
“Saya tak habis pikir bagaimana kejadian itu berlangsung. Bahkan baju-baju di patung juga diambilnya,” kenang Nursal perih. Itulah kenyataan yang harus diterimanya, selamat dan api tapi tersandung oleh maling.
Menjelang tahun 2002 Nursal sudah semakin tua. Pria itu telah berusia 63 tahun dan istrinya 59 tahun. Puluhan tahun berjuang dan menghadapi berbagai musibah, tapi niatnya berhaji tak kunjung tercapai. Sedangkan waktu terus berlalu.
Meskipun begitu, Nursal tak lelah memohon kepada Allah agar diizinkan pergi ke tanah suci, “Setidaknya satu kali saja, ya Allah!” serunya. Selain berdoa, Nursal juga tak putus usaha.
Bencana yang beberapa kali menimpanya membuatnya semakin waspada. Dengan napas tua yang tersengal-sengal, setiap pagi dia mendorong gerobak berisi pakaian untuk dipajang di tokonya. Setelah senja dan menutup toko, dia mendorong gerobak berisi barang dagangan kembali ke rumah. Cara itu menyelamatkan usahanya dan risiko kebakaran maupun kemalingan. Tapi jangan ditanya bagaimana lelahnya.
Sayangnya, setelah dihitung-hitung prospek berdagang pakaian tidaklah bagus. Ekonomi sedang lesu, pembeli sedikit yang singgah. Mereka mendahulukan kebutuhan yang lebih krusial, seperti beras daripada pakaian.
Di lain pihak, rupanya semangat berhaji juga menyala pada istrinya. Wanita itu rajin menyisihkan rezeki hingga bisa membeli sepetak tanah. Dengan sepenuh hati, sepetak tanah yang sedianya untuk persiapan di hari tua itu dijual kembali hingga cukup untuk ongkos naik haji. Tinggallah Nursal sendiri yang belum memiliki kecukupan dana.
Nursal hanya memiliki uang 16 juta rupiah. Itu pun uang modal untuk memutar usaha tokonya. Kebimbangan hinggap di hatinya. Apakah uang itu digunakan untuk naik haji atau memodali usaha? Ada sahabatnya yang menasihati, “Bayarkan saja dulu untuk ongkos naik haji. Selebihnya serahkan dan berdoalah kepada Allah! Setiap niat yang baik pasti dimudahkan Allah.”
Uang yang ada itu pun sebenarnya tak cukup untuk membayar utangnya akibat kemalingan. Karena tak ingin lari dari tanggung jawab, Nursal menemui si penyalur pakaian dan berbicara mengenai keadaannya serta keinginannya untuk naik haji. Tak disangka si penyalur menyambut baik niat Nursal. Dia bahkan mendukung rencana mulia Nursal itu. “Tak usah dibayar dulu utangnya. Saya beri tenggat waktu sampai dananya cukup, baru bayar pada saya,” ujarnya.
Nursal merasa lega, namun ada yang mengganjal. “Kalau saya mati sewaktu melaksanakan ibadah haji, bagaimana dengan utang-utang saya?”
Rekan bisnisnya itu tersenyum, “Kalau kau mati di tanah suci, semua utangmu saya ikhlaskan.”
Kesepakatan itu bukan saja mengurangi beban pikiran, tapi juga melegakan Nursal. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Nursal menyetorkan 16 juta rupiah modal usahanya untuk membayar ONH.
Sayangnya uang itu belum mencukupi. Nursal membutuhkan sekitar 10 juta rupiah lagi. Padahal tenggat pembayaran ONH semakin dekat, sementara uang yang dibutuhkan belum diperoleh. Nursal terancam gagal berangkat haji. Dan dia tak yakin apakah di masa datang ada umur atau kesempatan berhaji lagi untuknya.
Setelah kehabisan cara memenuhi ongkos naik haji, Nursal mencurahkan isi hatinya pada putri sulungnya, Erid. Si ayah minta tolong dicarikan pinjaman uang agar niat berhajinya terlaksana.
Erid dan suaminya baru saja merintis usaha toko kelontong. Jelas kondisi keuangan ibu muda itu pun pas-pasan karena habis untuk modal usaha. Tapi dia langsung terharu mendengar tekad puluhan tahun naik haji ayahnya yang terus tertunda karena berbagai musibah. Erid pun ke sana kemari mencari pinjaman. Atas rida Allah, dia berhasil mengumpulkan uang sebanyak yang diperlukan. Lalu Erid bergegas menyetornya ke bank. Tapi pihak bank menolak uang itu.
Keesokannya, Erid bersama Nursal kembali ke bank untuk membayar kekurangan ONH. Lagi-lagi pihak bank menolak pembayaran tersebut. Ternyata kekurangan itu sudah dilunasi. Dalam catatan bank, Nursal sudah masuk daftar lunas dan siap berangkat haji. Padahal Nursal dan seluruh keluarga besar belum pernah melunasinya.
Akhirnya Nursal mengalah dan pulang. Dia tak jadi berutang. “Inilah kekuasaan Allah atas niat hamba-Nya yang baik. Ada orang yang digerakkan hatinya untuk melunasi ONH Ayah,” ucapnya pada Erid. Sampai sekarang Nursal tidak tahu siapa muhsinin yang melunasi kekurangan ONH-nya dan tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Nursal tak henti-hentinya bersyukur.
Bulan Januari 2003, Nursal beserta istri berangkat ke tanah suci. Cita-cita yang puluhan tahun terus dikibarkan telah menjadi nyata. Allah Maha Besar! Nursal dan istri berseru, “Labbaika allahuma labbaik...” Air mata bahagia luruh tatkala melihat dan merasakan keagungan Kakbah. Inilah kebahagiaan yang lama baru terwujud.
Banyak orang yang sakit di Mekkah karena cuaca yang sangat panas dan kering. Setidaknya terkena batuk-batuk, bahkan ada yang berseloroh, “Cuma unta yang tidak batuk di Mekkah.”
Alhamdulillah Nursal dan istri tidak didera penyakit apa pun. Bagi mereka kampung halaman Rasulullah itu terasa sangat nyaman. Barangkali itulah efek positif dan semangat beribadah yang tinggi.
Selama di tanah suci ada tiga pengalaman menakjubkan yang dialami Nursal. Pertama, saat tawaf qudum, Nursal merasa sekeliling Kakbah sangatlah lapang. Dia bisa tawaf dengan tenang dan khusyuk. Tiba-tiba pada putaran kelima, Nursal terjepit oleh lautan manusia. Dalam keadaan terjepit, napasnya terasa sesak. Nursal meronta-ronta, tapi tubuhnya semakin tergencet. Dalam ketidakberdayaan itu, Nursal beristighfar dan berdoa mohon keselamatan kepada Allah, hingga mendadak suasana sekitarnya kembali lapang. Nyawanya pun selamat dari desakan ratusan manusia. Ibadah tawafnya diselesaikan dengan baik.
Kedua, saat ibadah sai, orang yang sudah tua biasanya didorong dengan kursi roda. Malangnya ada kursi roda yang meluncur deras menghantam Nursal. Pria tua itu terjungkal dan rasa sakit mendera tulang belulangnya.
Nursal memaafkan kecelakaan itu. Ia tidak menuntut pihak yang menabraknya. Nursal hanya beristighfar dan berdoa mohon kesembuhan kepada Allah. Hingga dalam beberapa menit, hilanglah rasa sakit itu. Nursal sanggup melanjutkan rangkaian ibadah hajinya tanpa butuh pengobatan medis. Seolah-olah dia tidak mengalami tabrakan itu.
Ketiga, karena sudah berulang kali tawaf di Kakbah, Nursal dengan percaya diri membuat janji dengan istrinya. Setelah masing-masing tawaf, keduanya berjanji akan bertemu di sebuah tiang sudut di dekat Kakbah. Tetapi setelah selesai, Nursal tak kunjung menemukan istrinya di tempat yang disepakati. Sekian lama waktu berlalu, tapi mereka tak kunjung bersua. Ke mana istrinya hendak dicari?
Dalam kebingungan Nursal pergi ke tempat sai. Di sana dia berdoa mohon petunjuk kepada Allah, semoga dia dipertemukan kembali dengan istri tercinta. Tak lama setelah berdoa, istrinya datang ke tempat Nursal berada.
“Tadi ketika tawaf saya terinjak-injak orang Afrika. Lalu hati saya mengatakan agar saya ke sini,” ucap si istri. Rupanya ada bisikan batin yang membimbing wanita itu ke tempat sai, bukan ke sekitar Kakbah. Dengan kuasa Allah, suami istri itu berkumpul kembali.
Nursal dan istri pulang ke tanah air. Alangkah bahagianya mereka bisa menunaikan ibadah haji yang sudah diniatkan puluhan tahun, apalagi setelah melalui berbagai musibah dan cobaan. Cobaan-cobaan tersebut, serta beragam kejadian selama di tanah suci, telah menguatkan suami istri Nursal untuk menerima apa pun yang terjadi dengan bisnis pakaian yang sementara waktu mereka tinggalkan.
Selama persiapan, manasik haji, dan menjalankan ibadah haji, pengelolaan toko pakaian milik Nursal diserahkan kepada menantu perempuannya, karena masih ada beberapa sisa stok lama pakaian yang kebanyakan baju-baju batik.
Rupanya selama Nursal tidak mengurus tokonya, penjualan pakaian sisa-sisa stok lama laris manis. Sekembalinya dari naik haji, si menantu perempuan melaporkan peningkatan penjualan yang melebihi biasanya. Perputaran barang juga berlangsung lebih dinamis.
Nursal mengecek keuangan, ternyata tokonya menghasilkan pemasukan sebesar 50 juta rupiah. Sebuah angka yang menakjubkan dan lebih dari cukup untuk melanjutkan bisnis dengan membeli produk terbaru.
Tiga tahun setelah masa berhaji adalah masa jaya usaha toko Nursal. Dia pun mampu melunasi utangnya.
“Saya menceritakan ini agar umat Islam percaya dengan kekuatan niat dan keajaiban doa. Allah akan memberi rezeki dari pintu yang tidak disangka-sangka,” ujar Nursal.
Kini Nursal memutuskan berhenti berdagang. Di samping usianya yang semakin senja, bisnisnya kembali menurun. Anak-anaknya semua sudah bekerja, ada yang membuka toko, minimarket, dan ada yang menjadi hakim.
Nursal dan istri mengalihkan kesibukan dengan mendalami ilmu agama. Pria itu rajin menghadiri pengajian atau diskusi agama. Dia juga mengoleksi dan mendalami buku-buku tafsir, hadis, dan kitab-kitab agama bermutu. Selain itu, Nursal dan istri menikmati masa tuanya dengan berladang di kebun. Tentu saja, mereka tak lupa mengobarkan semangat umat Islam lainnya untuk optimis menunaikan rukun Islam kelima.
Sahabat, Ujian hidup sesungguhnya jalan menuju kebahagiaan bagi orang yang menerimanya dengan ikhlas dan lika-liku hidup adalah irama mencapai kebahagiaan.